Senin, 21 Februari 2011

Delete!


Hari ini aku memutuskan sesuatu yang tidak pernah berani aku lakukan. Sesuatu yang selalu aku jaga karena aku ingin menghargainya sebagai bagian dari hidupku. Rentetan pesan di inbox facebook, satu-satunya kenangan tersisa antara aku dan kamu.

Setahun yang lalu aku mengenalmu melalui situs jejaring sosial facebook, tertarik dengan pict yang kamu pasang. Gadis manis berambut jabrik. Kuberanikan diri menyapa, ada getaran disana. Kamu ramah. Mulai sejak itu kita mulai rutin mengirim pesan, ngobrol di ym, bertukar photo. Ternyata kamu lebih manis, aku suka pipi chubbymu. Sadar dengan statusmu yang masih terikat hubungan dengan orang lain tidak membuatku mundur. Sepertinya aku terbuai terlebih saat kau putus dengan kekasihmu. Aku suka dengan kesederhanaanmu, suka perhatianmu, suka caramu mengungkapkan sesuatu. Aku adalah ratumu, perempuan penguasa hatimu, setidaknya itulah yang kurasa saat itu. Optimis bahwa kita dapat melalui segalanya karena kau akan selalu memegang tanganku. Aku percaya padamu.

Hanya sekali kita bertemu namun cukup membuat aku menangis setiap malam ketika memikirkanmu. Pertama kali kau menjemputku di stasiun itu, gedung dan lampu malam yang mengiringi perjalanan kita. Kelam mesra merajuk kita. Matamu yang selalu menatapku lembut seolah mengungkapkan sayang. Pelukmu, sentuhmu.. ah aku merinduimu.

Hay engkau yang ada disana, prinsipmu telah kulangkahi dengan angkuh. Apakah aku pantas mendapat balasanmu sedemikian rupa? Ya! Jawabmu keras menolak aku untuk menyentuh kehidupanmu lagi. Aku tidak bisa menerimanya, sungguh. Hingga malam berganti pagi menyisakan airmata, minggu dan bulan – bulan meranggas purnama menuntut tahun. Entah apa yang kuperbuat hingga mati rasa ini. Janjiku pudar untuk menunggumu membuka maaf. Karma telah kuterima. Terus melangkah atau mati disini adalah pilihannya. Kedamaian itu letaknya di hati, dan kau tahu bagaimana aku memperolehnya? Setelah aku sekarat bertarung dengan kemungkinan dan anggapan.

Menghapus jejak, meskipun akan menyesal nantinya.. sebelum logika berpacu. Hilanglah bersama angin.

0 komentar:

Posting Komentar