Minggu, 20 Februari 2011

Pamit


Ketika bumi mengakhiri masanya, bulan timbul menyipit di atas manusia - manusia kesepian pendamba kebenaran. Di hutan kesunyian yang menghembuskan bisikan cinta kepada setiap insan, semua bermula.

Marilah sayang, bangunlah dari lelapmu. Sambut tanganku, kita menari di bawah gemintang. Langit malam yang bercorak abstrak bersorak sorai mengoreskan liku kehidupan. Hentakkan kakimu, berputarlah... tunjukkan indahmu pada mereka yang iri dan dengki. Tak perlu takut terjatuh karena aku selalu memeluk hasratmu. Menarilah sampai kumpulan kunang - kunang mabuk oleh serbuk Dandelion. Menarilah sampai lelah berubah menjadi buaian kelam. Menarilah bersamaku hingga deretan bukit memperolok kita yang tertawa - tawa.

Kemarilah sayang dalam dekapku karena hangatmu menyeka lembut kulitku. Seakan membawaku dalam angan - angan keabadian yang tak mungkin terjadi tentang kau dan aku. Lepaskan dari kegamangan egoku.

Namun bila kabut memudarkan warna kegelapan dan sinar pelangi menggoreskan kilauan cahaya di wajah danau, artinya waktuku telah usai. Pesta pora dan jamuan semu itu telah berakhir. Mereka kembali pada mimpi - mimpi.

Maaf sayang, di saat terakhir ini aku masih belum bisa memberimu keabadian. Sebagai gantinya ambilah hatiku, disini tersimpan kumpulan puisi yang belum sempat kusampaikan padamu. Lepaskan jemarimu, aku sudah membeku, maka jangan kau hentikan langkahku.

Ah sayang, aku harus pergi, menghilang di antara kicauan burung api dan angin yang menelusupi rambut kumalku. Aku harus kembali padaNya, karena Ia adalah kekasih segala kekasih...

rinduku untukmu, selalu...

0 komentar:

Posting Komentar