Selasa, 22 Februari 2011

Pilihan


Drrrrtttt... telepon di ujung meja berkedip menandakan panggilan masuk.
Private numb. Oh yeah! Orang kesekian hari ini yang-tidak-ingin-diketahui-identitasnya. Orang – orang dengan berbagai aksentuasi, permohonan, tangisan dan ancaman.
“Hmmph.... “ desis Maura. Ia sudah seringkali menghadapi situasi seperti ini, dengan penolakannya akan sekretaris pribadi membuatnya jadi bertindak seefisien mungkin. Angkat telepon, lima detik mendengarkan sudah cukup untuk menentukan aduan tersebut perlu perhatian atau tidak, tutup teleponnya dan wushaa.. lanjutkan pekerjaan.

“Mauryano Baskara disini, dengan kantor LSM dan Pengacara ada yang bisa di bantu?” ucapnya tangkas.
“Ra, Ina melahirkan. Dia ingin kamu datang.. “ Tut... tut... tut.. Terputus, jelas si penelepon tidak ingin berlama-lama.

Pesan barusan masih bergaung lama mengalahkan gema telepon di telinganya. Shock. Suara itu masih bisa dikenalinya, Mbak Dely kakak kandung Ina, dalam kurun 3 tahun sejak kejadian itu. Maura ingat bukan saja karena beliau orang yang dihormatinya terlebih saat Mbak Dely berteriak mengusirnya dari rumah.

“Ya Tuhan” Maura langsung melorot di balik kursi putar. Barangkali menyebut namaNya kurang tepat karena selama ini ia jarang beribadah. Meminjam nama suci untuk menenangkan kepanikan adalah dosa.

Tidak menunggu lama Maura segera mengemasi tumpukan kertas berantakan hasil lembur dua minggu terakhir, berserakan seperti potongan kenangannya. Di luar hujan menghantam bangunan tempat dirinya dan 3 orang rekannya bekerja, sebuah rumah di area kompleks perumahan kumuh, lokasi yang tepat untuk konsentrasi mereka dalam menangani kasus-kasus rakyat tidak berpunya dengan bayaran seadanya. Posko, masyarakat sekitar menyebut tempat itu karena kerap digunakan menampung gembel. Sesuai kegunaannya pikir Maura suatu waktu. Maura melongok keluar, agak kerepotan memakai rain coat  namun seperti yang sudah-sudah selalu disempatkan untuk menengadah ke atas “Kelabu, langitku menderai airmata.. “

19.43 WIB, hentak keras kenalpot Satria 150cc.
19.52 WIB, kesetanan memacu kendaraan, 4 kali nyaris melanggar lampu merah, 1 kali diingatkan polisi lalu lintas.
20.12 WIB, Omnia International Hospital.

Tiba di rumah sakit dengan kalut memandang seorang wanita di lobby, Mbak Dely tajam menatap Maura.

“Kalau bukan karena Ina Mbak nggak akan hubungi kamu!” semburnya.

Beban rumah tangga dan keluarga menjadikan Mbak Dely nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. Kerut-kerut di wajahnya gambaran peristiwa, pasti berat mengurus suami tukang selingkuh dan anak-anak pecandu

“Ya Tuhan, untuk kali ini saja izinkan hamba meminjam kekuatanmu. Saya janji akan lebih serius dalam menangani kasus tekanan psikologi ibu rumah tangga setelah dari sini.. “ batin Maura.

Mbak Dely memimpin langkah ke lantai bersalin tempat Ina dirawat. Tidak ada obrolan sepanjang koridor yang mereka lalui. Maura begitu tenang menutupi gejolak hatinya.

Aku akan bertemu dengannya setelah sekian lamanya mati suri.. Ina, kekasihku, pasangan jiwaku, yang melahirkan anak dari suaminya. Pertemuan setelah melewati hari-hari penuh kesakitan. 3 tahun yang panjang, tahun pertama aku lewati dengan serangkaian percobaan bunuh diri, tahun kedua penuh penyesalan dan tahun ketiga kucoba mengubur seluruh kepedihan dengan menjadi gila kerja. Cara terakhir sepertinya efektif, aku menikmatinya.

“Ingat kau tidak boleh macam-macam di dalam!” dengus Mbak Dely membangunkan Maura dari lamunannya. Pintu terbuka. Hazela Indica, biasa di panggil Ina berada di tempat tidur menimang bayi dalam balutan bebat putih. Selang infus menjuntai dari lengannya.

“Perempuanku.. “ sayu mata Ina memanggil Maura, pandangan mereka bertemu, sejenak beku.
“Ah, sudah datang. Mari masuk” seorang pria bule riang mengajak dua orang tamu di depan pintu segera masuk.

“Halo, saya Andre” pria itu menangkap tangan Maura
“Istri saya bersikeras tidak mau kembali ke Canada kalau belum bertemu kamu, sahabat lamanya” Andre pura-pura kesal dan memandang mesra Ina.

Maura tersenyum letih. Andre, pria dewasa yang sudah mapan. Pria baik yang baru sadar dirinya terlambat menikah karena sibuk mengejar karier. Maura tidak membencinya kalau saja dia tidak membayangkan bagaimana besar tubuh pria itu menyetubuhi Ina.

“Kakak.. “ gumam Ina
“Ya dedek.. “

Maura duduk disamping Ina, menyentuh ujung tangannya.  Jika boleh memilih tentu ia akan lebih senang kalau diperbolehkan memeluk barang sebentar. Perawat masuk mengingatkan agar bayi diistirahatkan di ruangan lain, Andre antusias mengiringi, Mbak Dely turut serta meninggalkan lirikan kepada dua perempuan di depannya yang sama-sama menahan tangis.

Ina langsung memeluk Maura setelah semua orang meninggalkan ruangan.

“Maafin dedek, dedek udah khianatin kakak.. Maaf.. “ dengan tidak siap Maura menerima buraian orang terkasihnya seolah dirinya patung yang dihantam ribuan kegelisahan, remuk. Ina masih menginginkannya, tidakkah kau sadar kita semua terlambat dan terluka. Maura perlahan meraih tubuh Ina dengan lembut. Meluruhkan kerinduan, sayup terdengar lagu Peluk “Tiada yang terobati di dalam peluk ini, rasa sakitku rasa sakitmu.. “ selama ini Ina juga menahan rasa.

Kamu juga pasti sakit kan? Seharusnya aku yang minta maaf. Andai saja aku tidak teledor meninggalkan jejak di Hard Disc komputer rumah sehingga Mbak Dely mengetahui hubungan kita dan memaksamu menikah dengan orang asing. Mulai detik ini kita adalah beda sayang. Rentang waktu telah memberiku banyak kesempatan berpikir. Untuk kebahagiaanmu. Dulu erat egoku mencintaimu dan kini bebasku padamu adalah wujud cinta tidak terungkap.
Aku harus pamit, dek” kecup Maura di kening Ina mengakhiri kisah pilu yang harusnya tidak perlu terjadi.

Raungan itu menyesakkan hati, Ina histeris disebabkan emosinya tidak stabil. Perawat meminta Maura menjauh diselingi kepanikan Mbak Dely dan Andre. Inikah perpisahan dengan kekasih yang sudah bersama-sama selama empat tahun? Sepertinya tidak seindah yang pernah ditayangkan sinetron.

Kuatlah sayang, meskipun pernikahan bukan pilihan yang mudah tapi bertahanlah demi buah hatimu. Lalui liku dan walau tidak terlihat apapun di depan sana. Curahkan segala gundahmu padanya, anakmu, ialah yang akan setia menopangmu. Pembela, penjaga dan pendoamu.. Seperti aku yang selalu melakukannya untukmu dari jauh.

Maura khusyuk bersandar punggungan kursi di ruang tunggu, ia tidak ingin mengabaikan rengekan Ina yang memintanya tetap tinggal namun terlalu lama di dekat Ina akan membuatnya lepas kendali. Getaran kecil di saku menjerit melengkingkan lagu karena Kusanggup,  Agnes Monica tepat pada reff. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk mengagumi penyanyi favoritnya sebanyak itu pula ia lupa mengganti ringtone tersebut karena selalu terkejut. Kebiasaan buruk.

“Ya Glen? Aku sedang ada di luar. Tadi agak tergesa-gesa jadi tidak sempat memberitahumu.. “ jawab Maura cepat.
“Adik korban kasus dua minggu kemarin yang kamu minta datang bersedia memberikan kesaksian, kami tunggu di posko!” Glen, rekan kerja Maura yang pencinta sepak bola lokal terdengar gembira seperti akan mengabarkan kalau Nurdin Halid akan mengundurkan diri dari PSSI.

Maura bangkit menyusuri lorong panjang rumah sakit menghamburkan sisa perasaannya “Menguaplah bersama lara” bisiknya meninggalkan derak kursi di belakang, ia melaju kembali merangkai rutinitas. Layaknya semesta yang memiliki hukum dualitas, apa yang dijalaninya sekarang adalah retas keyakinan menyibak kebenaran sekaligus terseret system konspirasi brutal negeri ini. Dan kehilangan jati diri? Entah, seperti cerita cintanya, selasar kabut yang akan segera terhapus dari jalanan.. Seusai ini mungkin ada kebahagiaan. Siapa yang tahu hari esok?


PS: Terimakasih kepada Sinyo Nepenthes atas bantuannya mengedit tulisan ini.

0 komentar:

Posting Komentar